Kamis, 20 Juni 2013

Pendidikan Karakter







Mungkinkah mengetahui dan memastikan apakah seorang anak itu bermasalah, dalam waktu 5-10 menit pertama saat kita bertemu dengannya?” Jawabannya adalah “mungkin” dan “pasti”. Itu pertanyaan yang sering saya ajukan kepada peserta seminar ataupun para orangtua yang sedang bersemangat belajar dan mencecar saya dengan berbagai pertanyaan seputar anaknya.
Rahasia tersebut akan saya bahas sekarang, rahasia yang sering saya gunakan untuk menganalisa seorang anak. Apakah dia bermasalah, bahkan setelah mempelajarinya dengan seksama kita mampu meramal masa depan seorang anak. Wow, tenang ini bukan obral janji, tapi ini pasti. Dari hasil menangani berbagai kasus keluarga dan individu maka terbentuklah suatu pola yang akurat ditiap individu. Kebanyakan klien saya jika memiliki masalah, kebanyakan masalah tersebut  dan sebagian besar masalah itu berasal dari 2 hal. Ini juga rahasia (Rahasia dari ruang terapi saya), tapi akan saya bongkar habis.
Baiklah 2 hal tersebut berasal dari :
  • Keluarga (keluarga yang membentuk masalah tersebut secara tidak sengaja).
  • Masalah tersebut berasal dari usia 7 tahun kebawah.

Keluarga, adalah faktor penting dalam pendidikan seorang anak. Karakter seorang anak berasal dari keluarga. Dimana sebagian sampai usia 18 tahun anak-anak diIndonesia menghabiskan waktunya 60-80 % bersama keluarga. Manusia berbeda dengan binatang (maaf..) seekor anak kucing yang baru lahir, bisa hidup jika dipisahkan dari induknya, dan banyak binatang yang lain yang memiliki kemampuan serupa. Manusia tidak bisa, sampai usia 18 tahun masih membutuhkan orangtua dan kehangatan dalam keluarga. Sukses seorang manusia tidak lepas dari “kehangatan dalam keluarga”. Akan sangat banyak hal yang akan dikupas dari tiap tahun kehidupan manusia dan kebutuhannya serta cara memenuhi kebutuhan tersebut, terutama aspek emosi. Saya tidak akan meneruskannya, kita akan bahas dikesempatan lainnya, kini kita kembali ke cara mengetahui ciri anak bermasalah.
Usia 7 tahun kebawah? Ada apa pada usia ini? Pada masa ini kebanyakan (85%) letak masalah atau asal muasal masalah / hambatan seorang manusia tercipta. Istilah kerennya Mental Block. Karakter yang menghabat pencapaian cita-cita pribadi kita. Dan biasanya akan terasa pada usia 22 tahun ke atas. Woo… segitunya? Ya Mental Block seperti program yang seakan-akan dipersiapkan (karena ketidak sengajaan dan ketidak tahuan orangtua kita) untuk menghambat berbagai macam aspek dalam kehidupan kita. Aspek itu bisa berupa Karier (takut kaya, takut jabatan tinggi) kesehatan (tubuh gemuk, alergi) Relationship (tidak gampang cocok dengan pasangan/teman, paranoid) dan lain hal, serta masih banyak lagi.
Ada apa dengan 7 tahun kebawah dan disekitar 7 tahun pertama kehidupan manusia? Baiklah saya jelaskan, pada masa ini kita membutuhkan, kebutuhan dasar Emosi yang harus terpenuhi ingat HARUS terpenuhi. Jika pada masa ini lewat dan tidak terpenuhi  maka, akan terjadi Mental Block pada diri anak tersebut. Inilah asal muasal dimana Mental Block terbentuk. Karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar Emosi yang dibutuhkan seorang manusia. Kebutuhan apa yang dibutuhkan pada anak seusia itu? Sehingga fatal akibatnya (pada masa dewasa anak tersebut) jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi

Ada 3 kebutuhan yang harus dipenuhi pada anak usia 0 – 7 tahun bahkan lebih, cara ini adalah kunci dalam pendidikan karakter, agar karakter anak kita bisa tumbuh dan berkembang maksimal. Disamping itu ketiga hal inilah asal muasal Mental Block yang sering kali terjadi atau terasa sangat menganggu pada saat anak tersebut dewasa. Yaitu :

1. Kebutuhan akan rasa aman
2. Kebutuhan untuk mengontrol
3. Kebutuhan untuk diterima
3 kebutuhan dasar emosi tersebut harus terpenuhi agar anak kita menjadi pribadi yang handal dan memiliki karakter yang kuat menghadapi hidup. Ini akan sangat panjang sekali jika dijelaskan, nah mengingat kita membahas ciri – ciri karakter anak bermasalah maka kita akan kembali ke topic tersebut.

Sebenarnya ada 6 ciri karakter anak yang bermasalah, cukup kita melihat dari perilakunya yang nampak maka, kita sudah dapat melakukan deteksi dini terhadap “musibah besar” dikehidupan yang akan datang (baca: semakin dewasa) dan secepatnnya dapat melakukan perbaikan.
Inilah ciri-ciri karakter tersebut :
1. Susah diatur dan diajak kerja sama
Hal yang paling Nampak adalah anak akan membangkang, akan semaunya sendiri, mulai mengatur tidak mau ini dan itu. pada fase ini anak sangat ingin memegang kontrol. Mulai ada “pemberontakan” dari dalam dirinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah memahaminya dan kita sebaiknya menanggapinya dengan kondisi emosi yang tenang.
Ingat akan kebutuhan dasar manusia? Tiga hal diatas yang telah saya sebutkan, nah kebutuhan itu sedang dialami anak. Kita hanya bisa mengarahkan dan mengawasi dengan seksama.
2. Kurang terbuka pada pada Orang Tua
Saat orang tua bertanya “Gimana sekolahnya?” anak menjawab “biasa saja”, menjawab dengan malas, namun anehnya pada temannya dia begitu terbuka. Aneh bukan? Ini adalah ciri ke 2, nah pada saat ini dapat dikatakan figure orangtua tergantikan dengan pihak lain (teman ataupun ketua gang, pacar, dll). Saat ini terjadi kita sebagai orangtua hendaknya mawas diri dan mulai menganti pendekatan kita.
3. Menanggapi negatif
Saat anak mulai sering berkomentar “Biarin aja dia memang jelek kok”, tanda harga diri anak yang terluka. Harga diri yang rendah, salah satu cara untuk naik ke tempat yang lebih tinggi adalah mencari pijakan, sama saat harga diri kita rendah maka cara paling mudah untuk menaikkan harga diri kita adalah dengan mencela orang lain. Dan anak pun sudah terlatih melakukan itu, berhati-hatilah terhadap hal ini. Harga diri adalah kunci sukses di masa depan anak.
4. Menarik diri
Saat anak terbiasa dan sering Menyendiri, asyik dengan duniannya sendiri, dia tidak ingin orang lain tahu tentang dirinya (menarik diri). Pada kondisi ini kita sebagai orangtua sebaiknya segera melakukan upaya pendekatan yang berbeda. Setiap manusia ingin dimengerti, bagaimana cara mengerti kondisi seorang anak? Kembali ke 3 hal yang telah saya jelaskan. Pada kondisi ini biasanya anak merasa ingin diterima apa adanya, dimengerti – semengertinya dan sedalam-dalamnya.
5. Menolak kenyataan
Pernah mendengar quote seperti “Aku ini bukan orang pintar, aku ini bodoh”, “Aku ngga bisa, aku ini tolol”. Ini hampir sama dengan nomor 4, yaitu kasus harga diri. Dan biasanya kasus ini (menolak kenyataan) berasal dari proses disiplin yang salah. Contoh: “masak gitu aja nga bisa sih, kan mama da kasih contoh berulang-ulang”.
6. Menjadi pelawak
Suatu kejadian disekolah ketika teman-temannya tertawa karena ulahnya dan anak tersebut merasa senang. Jika ini sesekali mungkin tidak masalah, tetapi jika berulang-ulang dia tidak mau kembali ke tempat duduk dan mencari-cari kesempatan untuk mencari pengakuan dan penerimaan dari teman-temannya maka kita sebagai orang tua harap waspada. Karena anak tersebut tidak mendapatkan rasa diterima dirumah, kemanakah orangtua?

Masalah Pendidikan di Indonesia


Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Berikut ini beberapa masalah pendidikan yang terjadi di Indonesia :
1. Masalah Kurikulum 
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh
2. Masalah Biaya 
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
3. Masalah Tujuan pendidikan 
Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).

Masalah Pendidikan
4. Masalah Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang 
DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang.
5. Masalah Kontoversi diselenggaraknnya UN 
Kedua, aspek yuridis. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

PEMENUHAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN


(Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan)
Pendahuluan

Diberlakukannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, menempatkan madrasah setara dengan sekolah umum. Adanya kesetaraan tersebut, madrasah dituntut memiliki kualitas atau mutu yang sama dengan sekolah umum dalam segala aspeknya. Padahal untuk dapat memenuhi tuntutan kualitas atau mutu tersebut, minimal madrasah harus mampu memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada seluruh komponen yang ada.
SNP, merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI. Dikeluarkannya PP No.19 tahun 2005 tentang SNP, bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan madrasah. Adapun fungsinya adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Lingkup SNP meliputi delapan komponen pendidikan yaitu Standar Pengelolaan; Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Standar Sarana Prasarana; Standar Pembiayaan; Standar Proses; Standar Isi; Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Ke delapan standar tersebut menjadi syarat bagi semua satuan pendidikan termasuk madrasah.
Dari delapan komponen pendidikan di madrasah kenyataannya belum seluruhnya memenuhi SNP. Penelitian tahun 2008 berjudul "Madrasah dalam Pemenuhan Standar Layanan Minimal Pendidikan (Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Menurut SNP) di MI dan MTs" hasilnya menunjukkan bahwa komponen pendidik dan tenaga kependidikan MI dan MTs yang terdiri dari guru, kepala dan pengawas, baru memenuhi SNP sebesar 72 % untuk guru, 74 % untuk kepala dan 66 % untuk pengawas. Penelitian tahun 2009 tentang "Kesiapan Madrasah dalam Pemenuhan SNP (Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana Prasarana) di MTsN", menunjukkan bahwa MTsN baru memenuhi SNP sekitar 60 % untuk Standar Pengelolaan, 61 % untuk Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan 58 % untuk Standar Sarana Prasarana. Ini berarti bahwa madrasah belum memenuhi SNP pada tiga komponen tersebut.
Untuk memetakan kondisi madrasah dalam pemenuhan Standar Nasional Pendidikan secara keseluruhan. Penelitian yang pernah dilakukan baru melihat pada tiga komponen yaitu standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana prasarana pada jenjang MTsN. Sedangkan Standar "Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan) di MTsN" belum pernah dilakukan sehingga belum diketahui sejauhmana madrasah telah memenuhi standar sesuai SNP pada empat komponen pendidikan tersebut. Rumusan permasalahan penelitian adalah sejauhmana tingkat Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan di MTsN yang meliputi Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan.
Penelitian dilaksanakan di enam propinsi yaitu Nangro Aceh Darussalam (NAD), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Gorontalo. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survai dengan pendekatan pendekatan kuantitatif.
Standar Proses Pembelajaran
Standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran. Pada tahap perencanaan proses pembelajaran menunjukkan bahwa MTsN masuk kategori cukup dengan rerata skor 3.0 atau sekitar 60 % memenuhi SNP. Dari empat pernyataan tentang perencanaan proses pembelajaran (pihak yang terlibat dalam pengembangan silabus, langkah-langkah pengembangan silabus, penjabaran mapel yang memiliki RPP dalam silabus dan mapel yang sesuai SK, KD dan indikatornya), kelemahan madrasah dari kemampuannya menjabarkan mapel dalam silabus dan keberadaan mapel yang belum sesuai dengan SK, KD dan indikator. Hasil ini menunjukkan bahwa madrasah hingga saat ini belum memiliki kemampuan dalam mengimplementasikan KTSP, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa madrasah masih lemah dalam menyusun RPP dan silabus.
Dalama tahap pelaksanaan proses pembelajaran menunjukkan bahwa MTsN mencapai kategori cukup dengan rerata skor 3.1 atau sekitar 62 % memenuhi SNP. Rerata skor yang diperoleh dalam pelaksanaan proses pembelajaran berkisar antara 2.8 sampai 3.3. Dari tiga pernyataan tentang pelaksanaan proses pembelajaran, kelemahan madrasah terlihat dari kemampuannya dalam memenuhi persyaratan dalam proses pembelajaran seperti jumlah maksimal peserta didik perkelas yang belum ideal (ada yang terlalu banyak karena kekurangan ruang kelas dan ada yang terlalu sedikit karena kurang input siswa), beban mengajar maksimal perpendidik yang juga belum ideal (guru mengajar dalam jumlah jampel yang tidak tertentu karena kekurangan tenaga pendidik) dan rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik yang tidak seimbang karena keterbatasan tenaga pendidik. Disamping itu budaya baca juga masih kurang, karena sebagian madrasah masih ada yang belum memiliki perpustakaan dan kelengkapan bahan ajar.
Pada aspek penilaian hasil pembelajaran menunjukkan bahwa MTsN mencapai kategori kurang dengan rerata skor 2.9 atau sekitar 58 % memenuhi SNP. Adapun rerata skor yang diperoleh dari penilaian hasil pembelajaran berkisar antara 2.6 sampai 3.2. Dalam pelaksanaan penilaian, madrasah masih memiliki kekurangan dalam hal menetapkan kriteria dalam penentuan KKM (karena kondisi siswa yang heterogen baik dalam kemampuan maupun minat belajar) dan pelibatan guru-guru lain dalam penilaian khususnya terkait dengan penilaian afeksi (karena keterbatasan waktu yang dimiliki guru lain, karena telah mengajar dalam jumlah jampel yang melebihi ketentuan).
Sedngkan hasil terhadap pengawasan proses pembelajaran menunjukkan bahwa pengawasan proses pembelajaran yang dilakukan MTsN sasaran penelitian mencapai kategori kurang dengan rerata skor 2.6 atau sekitar 52 % memenuhi SNP. Adapun rerata skor berkisar antara 2.1 sampai 2.8. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengawasan proses pembelajaran di madrasah masih terlihat sangat lemah.
Standar Isi (kurikulum) Pembelajaran
Standar Isi Pembelajaran terdiri dari tiga variabel yaitu kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar dan kalender akademik. Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang diterapkan di MTsN sasaran penelitian mencapai kategori kurang dengan rerata skor 2.8 atau sekitar 56% yang memenuhi SNP. Hal ini mengindikasikan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum yang diterapkan di MTsN belum sesuai SNP. Pada aspek beban belajar yang diterapkan di MTsN termasuk kategori cukup dengan rerata skor 3.1 atau sekitar 62% memenuhi SNP. Sedangkan dalam penyusunan kalender akademik di MTsN sasaran penelitian mencapai kategori cukup dengan rerata skor 3.1 atau sekitar 62 % memenuhi SNP. Ini berarti bahwa penyusunan kalender akademik di MTsN telah sesuai SNP. Dari dua pernyataan dalam indikator kalender akademik yaitu teknik penyusunan dan jadwal yang tersusun, satu indikator yaitu teknik penyusunan kalender akademik masuk kategori cukup dengan skor 3.3 dan satu indicator masuk kategori kurang dengan skor 2.9.
Standar Penilaian Pembelajaran
Standar Penilaian Pendidikan yang dilihat dalam penelitian meliputi tiga variabel yaitu prinsip-prinsip penilaian; teknik dan instrumen penilaian; mekanisme dan prosedur penilaian. Indikator prinsip-prinsip penilaian dalam pembelajaran meliputi tujuh prinsip yaitu valid, obyektif, adil, terpadu, transparan, menyeluruh, sistematis dan akuntabel. Dari tujuh prinsip penilaian tersebut, terlihat bahwa penilaian yang dilakukan di sebagian MTsN belum menggunakan ketujuh prinsip tersebut secara maksimal. Ini terlihat dari hasil penelitian bahwa prinsip-prinsip penilaian yang dilakukan madrasah mencapai kategori kurang dengan rerata skor 2.7 atau baru sekitar 54 % memenuhi SNP.
Pada aspek teknik dan instrumen penilaian pembelajaran yang diterapkan di MTsN masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.8 atau 56 % memenuhi SNP. Ini berarti bahwa dalam melakukan penilaian, MTsN belum menggunakan teknik dan instrumen penilaian pembelajaran dengan berpedoman pada SNP secara maksimal, sehingga hasilnya juga kurang maksimal atau kurang baik.
Sedangkan pada aspek mekanisme dan prosedur penilaian yang dilakukan madrasah masuk kategori kurang dengan skor 2.6 atau baru 52% memenuhi SNP. Ini berarti bahwa mekanisme dan prosedur penilaian pembelajaran di madrasah belum memenuhi SNP secara maksimal. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mekanisme dan prosedur penilaian yang dilakukan madrasah selama ini belum sepenuhnya mengacu pada standar nasional pendidikan, sehingga dalam melakukan penilaian, sebagian besar guru tidak mengawali dengan melakukan perencanaan dengan menyusun kisis-kisi yang dikembangkan dalam instrument serta kurang melibatkan guru dan pihak lain dalam melakukan penilaian terutama penilaian afektif. Penilaian afektif, masih dianggap kurang terlalu penting dibandingkan dengan penilaian kognitif dan psikomotor, padahal untuk pelajaran tertentu seperti pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewragnegaraan. Untuk mengetahui tingkat ketercapaian hasil belajar, tiga ranah tersebut sama pentingnya menjadi pertimbangan.
Stadar Kompetensi Lulusan
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah meliputi dua variabel yaitu : a). SKL minimal kelompok mapel dan b). SKL minimal mata pelajaran. Indikator SKL Kelompok Mata Pelajaran terdiri dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; penjaskes-OR. Hasilnya menunjukkan bahwa SKL kelompok mapel masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.6 atau 52 % memenuhi SNP.
Dari enam pernyataan tentang SKL kelompok mapel (kegiatan kelompok Mapel Kewarganegaraan dan kepribadian dalam satu minggu, kegiatan kelompok Mapel agama dan akhlak mulia dalam satu minggu, kegiatan kelompok Mapel ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu minggu, kegiatan menganalisis gejala alam dan sosial dalam satu minggu, kegiatan pengembangan prestasi olahraga dalam satu minggu dan ata-rata nilai ketuntasan kelompok mata pelajaran IPTEK), kelemahan paling menonjol terlihat pada kemampuan siswa dalam menganalisis gejala alam dan sosial serta rendahnya nilai kelompok mata pelajaran IPTEK. Menurut sebagian guru, kelemahan ini terjadi karena rendahnya dukungan sarana prasarana yang dimiliki madrasah dalam menunjang pembelajaran IPTEK. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tahun lalu tentang stándar sarana prasarana bahwa madrasah memiliki dukungan sarana-prasarana pembelajaran khususnya sarana prasarana laboratorium yang masih sangat rendah.
Indikator SKL Mata Pelajaran terdiri dari mata pelajaran pendidikan agama Islam; bahasa Indonesia; bahasa Inggris; matematika; IPA; IPS; seni (budaya, musik, tar teater); pejaskes dan olahraga; keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SKL mata pelajaran masuk kategori sangat kurang dengan rerata skor 2.7 atau 54 % memenuhi SNP.
Dari limabelas pernyataan tentang SKL mapel (Pengamalan ajaran agama bersifat afektif dalam satu tahun, pembiasaan menghargai keragaman agama, suku, ras dan golongan sosial ekonomi dalam satu tahun, pembentukan akhlak mulia melalui pengembangan diri dalam satu tahun, mengekspresikan diri dalam bentuk seni dan budaya dalam satu tahun, pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung-jawab dalam 1 tahun, membuat karya tulis ilmiah dalam satu tahun, menghasilkan karya kreatif individual dalam satu tahun, menumbuhkan sikap percaya diri dan tanggungjawab dalam satu tahun, menumbuhkan sikap kompetitif untk memperoleh hasil terbaik dalam satu tahun, pelibatan siswa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam satu tahun, pembentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas dan kebersihan lingkungan dalam satu tahun, meningkatkan penguasaan pengetahuan guna melanjutkan ke jenjang PT, meningkatkan pengembangan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inisiatif, persentase jumlah siswa yang lulus UN tahun 2009 dan mata pelajaran yang memiliki nilai prestasi lebih tinggi dari rata-rata UN) ada tiga pernyataan yang merupakan kelemahan madrasah yaitu membuat karya tulis ilmiah dalam satu tahun, pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan dan meningkatkan pengembangan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inisiatif melalui berbegai kegiatan diskusi.
Kesimpulan
Penelitian tentang Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (Standar Proses, Isi, Penilaian dan Kompetensi Lulusan), hasilnya menunjukkan bahwa ke 4 Standar Nasional Pendidikan di MTsN masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.9 atau 58% yang memenuhi SNP. Dari empat variable SNP (Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan), diperoleh rentangan skor antara 2.7 dan tertinggi 3.0.
Pada Standar Proses yang dilihat melalui empat indikator yaitu perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah belum memenuhi SNP dan masuk kategori kurang dengan skor 2.8 atau 56% memenuhi SNP. Pada komponen Standar Isi yang dilihat melalui tiga indikator yaitu kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar dan kalender akademik, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah telah memenuhi SNP dan masuk kategori cukup dengan skor 3.0 atau 60% memenuhi SNP.
Pada komponen Standar Penilaian yang dilihat melalui tiga indikator yaitu prinsip-prinsip penilaian, teknik dan instrumen penilaian serta mekanuisme dan prosedur penilaian, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah belum memenuhi SNP dan masuk kategori kurang dengan skor 2.7 atau 54% memenuhi SNP.
Pada komponen Standar Kompetensi lulusan yang dilihat melalui dua indicator yaitu SKL minimal kelompok mapel dan SKL minimal mapel, hasilnya menunjukkan bahwa Standar kompetensi Lulusan di MTsN masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.7 atau 54% memenuhi SNP.
Rekomendasi

Mengingat sampai saat ini sebagian besar madrasah belum memenuhi standar sesuai dengan SNP dilihat melalui empat komponen pendidikan yaitu standar proses, standar isi, standar penilaian dan standar kompetensi lulusan, maka direkomendasikan kepada Dirjen Pendis Departemen Agama selaku instansi yang berwenang melakukan pembinaan terhadap madrasah, dengan segera dilakukannya kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan madrasah menuju "Madrasah Berstandar Nasional", dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Melakukan pembinaan yang lebih intensif terhadap pengelola madrasah terutama para guru menyangkut peningkatan pengetahuan dan keterampilan, melalui berbagai diklat tentang proses pembelajaran, kurikulum, penilaian dan teknis peningkatan kompetensi lulusan.
b. Memberikan anggaran yang memadai kepada madrasah guna melakukan berbagai kegiatan pengembangan SDM, guna meningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, penilaian dan meningkatkan kompetensi lulusan.
c. Menghidupkan dan menggerakkan MGMP dengan memberikan bantuan pendanaan memadai yang berguna untuk melakukan berbagai kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM.
d. Meningkatkan sarana prasarana madrasah baik secara kualitas dan kuantitas untuk kelancaran pelaksanaan pembelajaran dan berorientasi pada pencapaian standar nasional pendidikan.